Kamis, 10 Maret 2011

KEIKHLASAN....



Alangkah menyakitkan, kalau tiba2 kita sadar bahwa kita tak dapat bersamanya. Untuk selamanya. Awalnya, gak terlalu terasa, perpisahan yang secara perlahan terjadi. Perlahan tapi pasti intensitas komunikasi semakin berkurang. Yang tadinya sehari 3 kali, menjadi dua kali, setelah itu sekali, dua hari sekali, tiga hari sekali…dan akhirnya aku sadar pelan tapi pasti semuanya sudah berakhir.
           Dan sekarang baru terasa pedih, sekarang baru terasa sepi 
     dan sekarang baru terasa sedihnya kehilangan dia.
           Tapi .. cinta itu indah…
            Meskipun ada banyak halangan, mekipun ada banyak cobaan, 
     meskipun ada banyak kendala, meskipun ada banyak rintangan
     meskipun ada banyak tanjakan , meskipun ada banyak tembok tebal, 
     bahkan meskipun akhirnya menemukan kegagalan..
      Aku bicara tentang cinta yang indah
      Tanpa kebencian…
      Tanpa kemarahan…
      Tanpa dendam…
      Tanpa suudzon…       
      Aku bicara tentang cinta yang indah…
      Meskipun….
      Ketika disitu ada kesedihan..
      Ketika disitu ada isak tangis..
Ketika disitu ada air mata
Ketika disitu ada kepedihan..

Bahkan ketika disitu juga ada penderitaan..
      Cinta itu indah……Meskipun..
      Ketika kami merasa keempat tangan kami takmampu lagi memeluk..
      Ketika dua puluh jari kami tak mampu lagi memegang..
      Ketika keempat lengan kami tak mampu lagi merangkul..
      Ketika keempat tungkai kami tak mampu lagi melangkah..
      Ketika keempat telapak kaki kami tak mampu menjejak
      Ketika keempat kaki kami tak mampu mendobrak 
      Cinta itu sangat indah…
      Disaat keluar kata2 : “ Aku menyintaimu abadi…selamanya..”
      “Aku menyintaimu meskipun tak ada didekatmu..’
      “ Aku menyintaimu meskipun tak memilikimu..”  
      Cinta itu teramat sangat indah…
      Ketika saling menghibur disaat akan berpisah..
      Ketika saling mendukung supaya tabah , kuat dan tawakkal..
      Ketika saling mengerti bahwa bakti itu diatas segalanya..
      Ketika saling menatap mesra…disaat akan pergi..
      Meskipun…sekarang kami sendirian…
      Tapi hati kami satu..
      Meskipun kami terpisah…
      Tapi perasaan kami sama..
      Meskipun tubuh kami berjauhan..
      Tapi batin kami berdekatan..
      Meskipun dilubuk hati ada kepedihan yang menghunjam…
      Tapi disana ada juga kebahagiaan…
      Betapa tidak….
      Kita akan sangat bahagia, ketika kita tau
      Orang yang sangat kita cintai,
      Ternyata cintanya lebih besar dari apa yang kita bayangkan
      Cinta itu indah…
      Karena disitu ada kebahagiaan , penderitaan, hiburan,…
      Meskipun tanpa harapan….

Syair cinta


Terkulai di puncak rindu
Tenggelam dalam sendu
Kasih mu tak siapa
Bisa tanggalkan

Biar luka parah
Biar jiwa lara
Kasih mu yang sebati
Sukar ku pisah

Siapa bisa rasakan
Gelora cinta si Laila
Siapa gerangan
Kalaulah bukan Majnun

Mesti ada saksi
Mesti tegak bukti
Sebuah pengorbanan
Sebagai ganti

Lafazkan cinta mu satu
Azamkan cinta mu satu
Nazarkan cinta mu satu

Kibarkan cinta mu satu
Laungkan cinta mu satu
Juangkan cinta mu satu

ReNungKanLah......


ReNungKanLah......

Gus Dur Mengabdi


05/01/2011
SEPULANG pulang dari belajar di Timur Tengah dan pengembaraannya di Eropa akhir tahun 1970-an, Gus Dur lebih banyak bergelut di pesantren Tebuireng: mengajar dan menulis. Meski tinggal jauh dari Jakarta, tapi khalayak luas mulai mengenalnya, tiada lain lewat tulisan-tulisannya yang cemerlang di berbagai media massa.

Sebuah lembaga penelitian di Jakarta LP3ES mulai memenfaatkan pemikirnanya guna mengembangkan lembaga penelitian dan pengembangan itu. Kemudian Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) juga banyak menggunakan jasanya untuk melaksanakan berbagai riset unggulan. Tidak hanya itu, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tak ma ketinggalan, DKJ mengangkatnya sebagai ketuanya.

Ketika NU sedang mengalami  berbagai kemerosotan, membutuhkan pemimpin muda yang bisa membawa penyegaran, maka pilihan para ulama jatuh ke tangan H. Abdurrahman Wahid. Saat menjadi ketua umum PBNU 1984, pekerjaan Gus Dur sebagai peneliti, kolumnis dan dunia kesenian tetap dijalankan seperti biasa.

Namanya yang semakin melangit, juga tidak mengubah gaya hidupnya. Ia menempuh cara hidup yang biasa pula, serba informal, santai, akrab dan bersahabat dengan siapa saja. Seolah tak ada yang berubah darinya waluapun jabatan pimpinan tertinggi organisasi ulama itu diembannya.

Jika Gus Dur butuh mengomunikasikan berbagai idenya pada para kiai dan sejawat lainnya di berbagai tempat, dijalaninya sendiri. Misalnya ketika menemui Gus Mus di Pesantren  Rembang, Gus Dur ke sana sendiri dengan menggunakan bus umum.

Sewaktu Gus Dur diundangan lokakarya di sebuah pesantren di Cilacap, juga menggunakan bus saja. Setelah diterminal, lalu ia menyambung dengan angkot dan kemudian dilanjutkan dengan naik becak. Dia datang dengan membawa segebok map berisi makalah dan foto kopi kliping sebagai bahan ceramahnya.

Itu masih mending. Suatau hari, di tahun 1985, Gus Dur mengunjungi sahabatnya, KH Muhammad Jinan di Gunung Balak Lampung. Setelah naik bus Jakarta-Lampung, lalu naik angkot, ia meneruskan dengan berjalan kaki sepanjang empat kilo meter. Jalan menuju pesantren memang hanya setapak. Coba bayangkan, Gus Dur jalan kaki dengan badan tambun, kacamata tebal, sementara jalan berbatu. Tapi Gus Dur menjalaninya dengan enteng, bahkan ceria.

Banyak orang terbelalak melihat kebersahajaan pemimpinnya itu. Gus Dur memang memosisikan dirinya sebagai pemimpin. Pemimpin yang member contoh. Pemimpin yang menaungi siapa saja. Pemimpin yang rameh ing gawe, sepi ing pamrih. Pemimpin yang berempati.

Gus Dur tidak menempatkan diri sebagai pembesar yang harus disanjung dan dihormati. Gus Dur tidak melengkapi dirinya dengan fasilitas lengkap dan nyaman.

Gus Dur memang memilih untuk mengabdi, sehingga lebih banyak memberi dari pada menuntut pelayanan.

Semua itu dilakukan oleh Gus Dur dengan penuh semangat. Pasalanya, Gus Dur didorong oleh ide-ide besar dan dibakar oleh semangat juang yang berapi-api, sehingga hal-hal kecil yang bersifat duniawi itu diabaikan begitu saja.

Gus Dur menilai segala macam pernik-pernik keduniawian itu tidak berarti dibanding dengan tantangan besar  menghadapi  rezim otoriter dan represif. Gus Dur melawan budaya takut dan rasa rendah diri yang berkembang di masyarakat. Gus Dur datang untuk memberikan rasa kesamaan, damai tanpa ketakutan pada semua orang.

Hingga akhir hayatnya, Gus Dur terus mengabdi pada semua orang, memberikan perlindungan, memberikan harapan. Gus Dur percaya, tidak pernah ada persoalan yang tidak bisa diatasi, tidak ada konflik yang tidak bisa dilerai. 

Semuanaya dilakukan Gus Dur untuk membela dan mengangkat derajat dan martabat bangsa ini. Semua orang merasa tertolong oleh Gus Dur, sehingga mereka meras berhutang budi. Ketika Gus Dir meninggal semua meratapi, siapa bapak bangsa dan guru bangsa yang bisa mengganti, untuk mengawal perdamaian di negeri ini.

Jasa Gus Dur dikenang semua orang, tidak pandang asal-usul etnis dan agamanya. Itulah buah dari ketulusan pengabdiannya. (Abdul Mun’im DZ)