Sabtu, 01 Oktober 2011

Walid bin Abdul Malik (705-715 M) Penegak Bani Umayyah

Walid Abdul Abbas bin Abdul Malik bin Marwan bin Hakam lahir pada tahun 48 Hijriyah. Ia menjabat khalifah menggantikan ayahnya, Abdul Malik bin Marwan tahun 84 Hijriyah atau 705 Masehi.

Setelah menjadi khalifah, ia langsung membenahi infrastruktur fisik, pengiriman pasukan untuk memperluas wilayah dakwah dan kekuasaan Islam serta melakukan reformasi sosial. Pada 711 Masehi, Walid bin Abdul Malik mengutus satu armada laut ke Hindustan. Pasukan yang dipimpin oleh Muhammad bin Qasim itu akhirnya menaklukkan negeri Sind dan Nepal.

Walid memerintah selama 10 tahun. Panglima pasukan Islam pada zamannya, dikerahkan untuk melakukan ekspansi dakwah ke berbagai belahan dunia. Panglima Qutaibah bin Muslim diutus untuk menaklukkan negeri di seberang sungai Dajlah. Turki, Shagd, Syaas, Farghanah, hingga Bukhara, akhirnya tudnduk di bawah pemerintahan Bani Umayyah.

Di sisi lain, negeri Khurasan takluk dengan damai. Berbeda dengan Samarkand, Kashgar, Turkistan yang takluk dengan peperangan di bawah pimpinan Qutaibah bin Muslim.

Musa bin Nushair, Gubernur Afrika mengirim Thariq bin Ziyad untuk menaklukkan pulau Shamit tahun 91 H. Thariq adalah budak Musa bin Nushair yang telah dimerdekakan. Bahkan ia telah diangkat menjadi panglima perang. Dalam misinya, Thariq berhasil mengalahkan Spanyol (Ishbaniyah).

Pahlawan legendaris satu ini terkenal dengan taktiknya membangkitkan semangat pasukannya yang hampir mundur. Akhirnya, mereka tak punya pilihan kecuali maju berjihad mengalahkan Spanyol. Ia kemudian bermarkas di sebuah bukit di Spanyol yang kini dikenal dengan Jabal Thariq (Gibraltar).

Masing-masing bekas tuan dan budak itu, Musa bin Nushair dan Tariq bin Ziyad, berhasil menunaikan tugas melebarkan sayap Islam. Praktis seluruh daratan Spanyol dikuasai pasukan Muslim pada 86 H (715 M), pada masa pemerintahan Khalifah Walid bin Abdul Malik.

Penaklukan Spanyol oleh Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad memberikan pengaruh positif pada kehidupan sosial dan politik. Timbul revolusi-revolusi sosial dan kebebasan beragama semakin diakui. Kediktatoran dan penganiayaan yang biasa dilakukan oleh orang Kristen digantikan toleransi yang tinggi dan kebaikan umat Islam.

Pemerintahan Islam sangat baik dan bijak dalam menjalankan pemerintahannya. Ini membawa efek luar biasa terhadap kalangan Kristen, bahkan para pendetanya. Seorang penulis Kristen pernah berkata, “Muslim-Muslim Arab itu mengorganisir kerajaan Cordoba dengan baik. Ini sebuah keajaiban di abad pertengahan. Mereka mengenakan obor pengetahuan, peradaban, kecemerlangan dan keistimewaan bagi dunia Barat. Saat itu Eropa dalam kondisi percekcokan, kebodohan dan gelap.”

Pada saat kekuasaan Islam berkembang dan menguasai wilayah-wilayah Spanyol, Romawi, Hindustan, dan lain-lain, Khalifah Walid mengkonsentrasikan pembangunan fisik. Sarana-sarana fisik dan infrastruktur untuk kemakmuran rakyat dibangun di mana-mana.

Ia memerintahkan pembangunan sumur air di Madinah dan renovasi jalan-jalan umum. Dialah yang membangun rumah sakit pertama kali dalam sejarah Islam. Para penyandang cacat dan kaum dhuafa dilarang keluar ke tempat umum. Mereka ditempatkan di panti jompo dan para pengurusnya digaji dan difasilitasi oleh negara. Para tuna netra diberikan pembantu yang juga ditanggung negara. Negara juga memberikan gaji kepada para ahli Al-Qur’an.

Khalifah Walid juga membangun sarana rumah singgah bagi para musafir dan pendatang. Masjid Nabawi di Madinah dan Masjid Al-Aqsha dibangun kembali oleh Walid. Ia juga memprakarsai pembangunan masjid besar di Damaskus yang dikenal dnegan Al-Jami’ Al-Umawi. Pembangunan masjid agung ini menelan biaya 11.200.000 dinar kala itu.

Tak heran bila Adz-Dzahabi mengatakan, Walid bin Abdul Malik telah menegakkan jihad dan melakukan penaklukan di negeri-negeri seperti yang dilakukan Umar bin Al-Khathab. Seorang sejarawan juga pernah berujar, “Jika Muawiyah yang mendirikan negara Bani Umayyah, maka Walid bin Abdul Malik yang menegakkannya sampai teguh.”

Walid bin Abdul Malik meninggal tahun 96 Hijriyah di Damaskus. Kekhalifahan digantikan oleh saudaranya, Sulaiman bin Abdul Malik.

Mencegah Sekularisasi Pancasila

oleh : KH. Ma'ruf Amin

Maklumat keindonesiaan yang digagas dalam simposium nasional bertema ''Restorasi Pancasila'' di Fisip UI pada 30-31 Mei 2006 dan dibacakan Todung Mulya Lubis pada peringatan Hari Lahir Pancasila, menarik dicermati. Maklumat itu mene-gaskan Pancasila bukanlah agama dan tak satu agama pun berhak memonopoli kehi-dupan yang dibangun berdasa...rkan Pancasila. Maklumat juga menegaskan keluhuran sosialisme dan keberhasilan mate-rial yang diraih kapitalisme.

Kita tidak tahu ada apa di balik penegasan itu. Di satu sisi dinyatakan tak satu agama pun boleh mendominasi kehidup-an yang dibangun berdasarkan Pancasila, sementara sosialisme --yang dibangun berdasarkan ideologi materialisme dan antiagama, dan karenanya bertentangan dengan nilai Pancasila--- justru diagung-kan. Demikian juga dengan kapitalisme yang dibangun berdasarkan sekularisme dan 'setengah' antiagama, serta nyata-nyata melahirkan ketidakadilan global --yang bertentangan dengan nilai Panca-sila-- malah dipuja-puja.

Vision of state

Pancasila memang bukan agama, karena ia merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi) yang hendak diraih dan diwujudkan bangsa Indonesia saat berikhtiar mendirikan sebuah negara. Meski demikian, bukan berarti Pancasila antiagama, atau agama harus disingkirkan dari 'rahim' Pancasila. Karena agama diakui, dilindungi, dan dijamin eksistensinya oleh Pancasila. Masing-masing agama berhak hidup dan pemeluknya bebas menjalankan syariat agamanya.

Dengan nilai dan visi ketuhanan, arah Indonesia bukanlah negara sekuler, juga bukan sosialis-komunis maupun kapi-talis-liberal. Sangat ganjil dan aneh jika agama --khususnya Islam-- hendak disingkirkan dan dibuang jauh-jauh dari kehidupan, dengan logika tidak boleh ada satu agama (kebenaran) yang mendomi-nasi. Hak umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya selalu saja dibenturkan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Karena itu, maklumat atau logika-logika sejenisnya hanyalah tafsiran nisbi, bahkan (maaf) sangat absurd. Tapi selalu dipaksakan segelintir orang kepada ma-yoritas rakyat di negeri ini. Aneh, me-mang, mereka memaksakan tafsirannya atas kebenaran. Bahkan memonopoli tafsiran itu dan dipaksakan kepada orang lain.

Ini bentuk inkonsistensi cara berfikir. Tapi, bagi mereka, justru ini merupakan bentuk konsistensi, konsistensi menolak Islam. Karena itulah, hubungan antara agama --khususnya Islam-- dengan negara tak pernah solid karena adanya pihak yang terus-menerus membentur-kan agama dan negara.

Ketika bangsa yang mayoritas Muslim ini berhasil menyelenggarakan pemilu, mereka berteriak lantang bahwa demok-rasi kompatibel dengan Islam. Tapi giliran umat Islam menuntut syariatnya diterapkan, mereka menolak dengan menggunakan tafsir kebenaran sendiri yang (maaf) sudah klise.

Cara berpikir seperti ini tentu picik dan tidak jujur. Picik, karena selalu menggunakan Pancasila dan konstitusi sebagai pelarian. Tidak jujur, karena orang-orang itu tidak mau menerima kenyataan, bahwa demokrasi yang mereka agung-agungkan mengajarkan vox populi, vox dei (suara rakyat suara tuhan). Jika rakyat yang mayoritas menginginkan kehidupan mereka diatur syariat, mengapa mereka harus menolak?

Kalau kepicikan dan ketidakjujuran ini terus dipraktikkan, kalangan Muslim yang masih menerima demokrasi pun pada akhirnya akan muak. Pada akhirnya, umat Islam akan membuktikan sendiri bahwa demokrasi hanyalah jargon kaum kapitalis-sekuler untuk mempertahan-kan kepentingan mereka.

Sekularisasi Pancasila

Pengamat Politik LIPI, Mochtar Pabottingi, juga mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state yang menda-hului berdirinya Republik Indonesia (Republika, 1/6). Visi itu kemudian dituangkan dalam Pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan ''negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa''. Artinya, dengan visi itu, para pendiri negara ingin menegaskan bahwa negara yang diba-ngunnya bukanlah negara sekuler.

Karena itu, tidak ada satupun pasal dalam UUD 1945 yang menolak agama dijadikan sebagai sumber hukum. Bahkan, banyak pakar hukum Indonesia yang memberikan penegasan bahwa Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional. Maka, penegasan bahwa Pancasila bukanlah agama dan agama tidak boleh memonopoli kebenaran, jelas merupakan upaya untuk menistakan agama, dan memisahkan Pancasila dari agama.

Sebagai open idea (ide terbuka) atau open value (nilai terbuka) --sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden SBY pada 1 Juni 2006-- seharusnya kontribusi agama dalam membimbing visi yang dicita-citakan itu tidak boleh dibendung. Apalagi dengan membenturkannya.

Apakah kontribusi agama, tepatnya penerapan syariat Islam akan mengan-cam keharmonisan warga negara yang memiliki agama dan keyakinan yang plural? Mari jujur melihat fakta. Pertama, Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Sedangkan agama-agama lain tidak memiliki syariat yang mengatur urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, politik luar negeri. Agama-agama itu hanya mengatur urusan-urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin, dan cerai.

Kedua, sebagai agama yang menole-ransi kemajemukan agama warganegara, Islam memiliki perspektif bahwa peng-aturan urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin, dan cerai pemeluk agama lain diserahkan kepada agama masing-masing. Islam menjamin kebe-basan mereka untuk menjalankan syariat agamanya.

Ketiga, bilamana syariat Islam --dalam posisi sebagai produk hukum sebagaimana hukum yang dihasilkan oleh ideologi kapitalisme atau sosialisme-- diadopsi suatu negara yang memiliki warga negara yang terdiri atas berbagai pemeluk agama, maka penerapan syariat Islam --sebagaimana juga produk hukum lain dari ideologi kapitalis ataupun sosi-alis-- yang bersifat mengikat dan memak-sa semua warga negara, adalah hukum-hukum yang bersifat umum. Seperti urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, dan politik luar negeri.

Dengan demikian, secara normatif tidak akan pernah terjadi benturan atau disharmoni dalam hubungan antara Muslim dan non-Muslim. Secara historis, kondisi itu telah dibuktikan oleh sejarah Islam sepanjang 800 tahun, ketika Spanyol hidup dalam naungan Islam. Tiga agama besar yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi bisa hidup berdampingan. Ma-sing-masing pemeluknya bebas menja-lankan syariat agamanya, dijamin oleh negara. Inilah yang diabadikan oleh Mc I Dimon, sejarawan Barat, dalam Spain in the Three Religion. Untuk kasus Indo-nesia, kita tidak mungkin menyingkirkan fakta bahwa: pertama, Islam telah tumbuh dan berkembang di Indonesia lebih dari 500 tahun. Kedua, Islam dianut mayoritas, sekitar 87 persen. Ketiga, hukum Islam hidup di masyarakat Indonesia lebih dari 500 tahun, sehingga hukum Islam sudah menjadi law life (hukum yang hidup). Wajar kalau syariah Islam menjadi sumber hukum peraturan perundangan di Indonesia. Aneh kalau ada yang menentangnya. Wallahu a'lam.

Yazid bin Muawiyah (680-683 M) Tak Lepas dari Karbala

Yazid bin Muawiyah menjabat khalifah menggantikan ayahnya, Muawiyah bin Abi Sufyan pada usia 34 tahun. Ia adalah khalifah kedua dalam dinasti Bani Umayyah. Ia lahir pada 22 Hijriyah. Namun ada juga yang mengatakan, ia lahir pada 25 atau 26 Hijriyah.

Saat itu, ayahnya sedang menjabat sebagai gubernur wilayah Palestina yang meliputi Suriah dan sekitarnya yang berkedudukan di Damaskus. Sebelumnya, pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, wilayah itu dipegang Abu Ubaidah bin Jarrah. Abu Sufyan menjabat sebagai gubernur sekitar 29 tahun, dari 41 H-60 H. Pada masa itulah Yazid lahir.

Dengan demikian, Yazid lahir dan besar dalam lingkup istana yang penuh dengan kemewahan. Tidak seperti Khulafaur Rasyidin sebelumnya yang dipilih oleh kaum Muslimin, Yazid menerima jabatan langsung dari ayahnya. Namun demikian, sebagian besar penduduk Palestina dan Suriah mendukungnya. Penduduk wilayah Mesir dan pesisir utara Afrika juga menyatakan baiat kepada Yazid.

Sementara wilayah Basrah—yang saat itu merupakan ibukota Iran dan Khurasan—dan Kufah—ibukota Irak kala itu—belum menunjukkan reaksi. Sedangkan penduduk wilayah Hijaz, terutama penduduk Makkah dan Madinah menentang secara keras. Meskipun Marwan bin Hakam, gubernur wilayah itu sudah ‘memaksa’ tetapi mereka menolak. Kala itu, baik di Madinah maupun Makkah, masih banyak kalangan sahabat Nabi dan para tabiin.

Di wilayah Hijaz, ada empat tokoh yang disegani kala itu; Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq, Abdullah bin Umar bin Al-Khathab, Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Zubair bin Awwam.

Abdurrahman bin Abu Bakar meninggal dunia sebelum Muawiyah menjabat khalifah. Abdullah bin Umar menyetujui Yazid sebagai khalifah. Sejarah mencatat ucapannya saat itu, “Kalau orang banyak menyetujuinya, maka aku pun setuju.” Sedangkan Husain bin Ali dan Abdullah bin Zubair tetap tak mau berbaiat kepada Yazid. Penduduk Makkah pun berada di belakang kedua tokoh itu.

Sementara itu, penduduk Kufah mengundang Husain ke Irak untuk dinobatkan sebagai Khalifah. Husain bin Ali setuju. Ia pun mengirimkan Muslim bin Uqail bin Abi Thalib ke Kufah. Muslim bin Uqail berangkat dan berhasil mengambil baiat 30.000 penduduk Irak. Semuanya berjanji akan mendukung Husain sebagai khalifah. Diiringi rombongan besar, Husain berangkat menuju Kufah. Turut dalam rombongan itu, istri dan putranya Ali bin Husain, yang lebih dikenal dengan Ali Zainal Abidin.

Begitu mendengar sikap penduduk Irak di Kufah dan adanya keberangkatan Husain bin Ali dan pasukannya ke kota itu, Khalifah Yazid murka. Ia segera memecat Nukman bin Basyir, gubernur wilayah Irak dan menggabungkan wilayah itu dalam kekuasaan Abdullah bin Ziyad, gubernur wilayah Iran yang sudah berhasil mengambil baiat atas para tokoh di Basrah. Bersamaan dengan itu, Yazid juga memerintahkan untuk menangkap Husain bin Ali dan pasukannya.

Gubernur Abdullah bin Ziyad tiba di Kufah terlebih dahulu daripada Husain dan pasukannya. Dengan mudah ia merebut dan menduduki Kufah. Para penduduknya berbalik mengangkat baiat kepada Yazid bin Muawiyah. Muslim bin Uqail ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Abdullah bin Ziyad segera membentuk pasukan besar yang terdiri dari 2.000 tentara berkuda dari penduduk Irak sendiri dan memercayakan pimpinannya kepada Alhur bin Yazid At-Tamimi untuk menghadang Husain dan rombongannya.

Berita tentang dikuasainya Kufah dan dibunuhnya Muslim bin Uqail sampai ke telinga Husain. Namun karena yakin penduduk Iran dan Irak tetap berpihak kepadanya, Husain tetap bersikeras melanjutkan perjalanan. Beberapa pengikutnya yang setia sudah membayangkan apa yang akan terjadi, menasihati Husain agar kembali ke Makkah atau berbalik arah ke Yaman. Namun Husain bersikeras. Walau demikian, ia membolehkan pasukannya untuk menentukan pilihan sendiri, ikut atau kembali ke Makkah. Akhirnya, sebagian pengikutnya kembali ke Makkah. Hanya 31 orang penunggang kuda dan 40 pejalan kaki yang mengiringi Husain dan keluarganya.

Rombongan kecil itu terus melanjutkan perjalanan. Di sebuah tempat bernama Sirrah, rombongan Husain berpapasan dengan pasukan Alhur bin Yazid. Alhur sempat kaget melihat rombongan kecil di hadapannya, sebab berita yang ia dengar, Husain datang bersama pasukan besar. Ia tak berani gegabah lalu menghentikan pasukannya dan mengambil posisi bertahan.

Sementara itu, Husain masih yakin pasukan besar di hadapannya akan kembali berbaiat kepadanya. Sempat terjadi negosiasi, tetapi menemui jalan buntu. Sepucuk surat datang dari Abdullah bin Ziyad yang memerintahkan untuk segera mendesak pasukan Husain. Pasukan kecil itu terus terdesak di sebuah padang gersang yang sangat dikenal dalam sejarah, Karbala!

Pertempuran tak seimbang pun tak terelakkan. Seluruh pengikut Husain hampir semuanya gugur. Hanya para wanita dan anak-anak yang dibiarkan selamat. Sebelum tubuh Husain rebah ke tanah, sebuah tombak melesat ke mulutnya. Selanjutnya seorang musuh lain menusuk dada cucu Rasulullah dengan tombak. Tepat ketika tubuhnya rebah, pedang Syammar bin Ziljausan—salah seorang panglima Yazid—menyambar lehernya.

Kepala Husain dan keluarganya dibawa ke Kufah. Selanjutnya dibawa ke Damaskus dan dipersembahkan kepada Yazid bin Muawiyah. Begitu melihat kepala Husain, Yazid sedih dan berlinang air mata. “Aku tidak pernah memerintahkan untuk membunuhnya. Demi Allah, kalau aku berada di tempat itu, aku akan memberikan ampunan padanya,” ujar Yazid.

Peristiwa Karbala itu menggemparkan penduduk Hijaz. Sebagian penduduk Madinah segera mencabut baiatnya atas Yazid bin Muawiyah. Abdullah bin Zubair segera dinobatkan sebagai khalifah. Di kalangan masyarakat saat itu, ia termasuk orang ternama. Ayahnya, Zubair bin Awwam adalah satu diantara 10 sahabat Rasulullah yang dijamin masuk surga. Sedangkan ibunya adalah Asma’ binti Abu Bakar. Abdullah bin Zubair mendapat dukungan dari Hijaz, Yaman dan Arabia Selatan.

Mendengar itu, khalifah Yazid kembali murka. Ia segera mengirim pasukan besar dipimpin Muslim bin Uqbah dengan pesan yang diabadikan sejarah, “Berangkatlah menuju Madinah. Jika mereka melakukan perlawanan, perangi! Jika kau menang, izinkan tentaramu berbuat sekehendak hati selama tiga hari. Setelah itu berangkatlah ke Makkah dan perangilah Abdullah bin Zubair!”

Setelah berhasil menaklukkan Madinah dan pasukannya melakukan ibahat—tradisi Romawi ketika menaklukkan sebuah kota, tentara dibolehkan melakukan apa saja di dalamnya—selama tiga hari, Muslim bin Uqbah melanjutkan perjalanan ke Makkah. Dalam perjalanan inilah ia meninggal, dan pimpinan pasukan diambil alih Alhushain bin Alnamir.

Pasukan Abdullah bin Zubair mampu bertahan selama 40 hari di Makkah. Karena tak mampu menembus pertahanan itu, Alhushain mengajak damai. Akhirnya kedua belah pihak sepakat gencatan senjata. Pada detik-detik itulah Yazid bin Muawiyah meninggal dunia dalam usia 38 tahun. Masa pemerintahannya berlangsung selama tiga tahun enam bulan.

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/11/04/21/ljzikd-daulah-umayyah-yazid-bin-muawiyah-680683-m-tak-lepas-dari-karbala